TAQWA

Oleh: Ma’ruf Zahran

Dalam tradisi pesantren, ta’rif atau pengertian taqwa adalah; “imtisalul awamirillahi ‘azza wa jalla wajtinabun nawahihi sirran wa ‘alaniyah,” artinya; melaksanakan seluruh perintah Allah ‘Azza wa Jalla, dan menjauhi larangan Nya baik pada saat sepi maupun ramai. Uraian dari perintah Tuhan sangat banyak, dan uraian tentang larangan Nya pun sangat banyak. Perintah dalam arti amri, dan larangan dalam arti nahyi. Perintah dan larangan ini berjenjang, dari perintah syariat, perintah thariqat, perintah hakikat dan perintah ma’rifat, begitupun larangan juga berjenjang, larangan syariat, larangan thariqat, larangan hakikat, larangan ma’rifat. Dampak logisnya adalah ganjaran menjalankan perintah syariat mendapat pahala syariat, menjalankan perintah thariqat mendapat pahala thariqat, menjalankan perintah hakikat mendapat pahala hakikat, menjalankan perintah ma’rifat mendapat pahala ma’rifat. Jalan dan perjalanan dari masing-masing jenjang dan tingkat harus dipelajari, diamalkan dan dirasakan, rasa yangdiamalkan dan amal yang dirasakan.

Demikian pula dengan larangan Tuhan (Rabb) Allah SWT, SWT telah melarang dalam laranganNya yang bersifat larangan syariat, larangan thariqat, larangan hakikat, larangan ma’rifat. Dampak bagi bangun badan (rohani) dan bangun tubuh (jasmani) bagi pendosa yang melanggar syariat akan terkena dosa syariat, pelanggaran pada wilayah thariqat akan terkena dosa thariqat, pelanggaran pada wilayah hakikat akan terkena dosa hakikat, pelanggaran pada dosa ma’rifat akan terkena dosa ma’rifat. Semua perintah Allah SWT dalam lingkup keempat perintah dan keempat larangan wajib diketahui. Dosa berakibat hukuman (‘uqubat) dan pahala berakibat ganjaran (tsawab). Hukuman di dunia dan hukuman di akhirat, ganjaran di dunia dan ganjaran di akhirat.

Taqwa, istilah yang tepat untuk menamakan hamba-hamba Allah SWT yang taat. Hamba-hamba Allah SWT yang taat dalam menunai perintah syariat, thariqat, hakikat dan ma’rifat, hamba-hamba Allah SWT yang taat dalam menjauhi larangan syariat, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Pahala (Arab: ni’mat tsawab) bagi yang taat syariat di dunia, barzakh dan akhirat akan mendapat surga syariat di dunia, surga syariat di barzakh, surga syariat di akhirat. Begitu pun taat-taat yang lain diganjar sesuai dengan tingkat capaian taat, atau level 1 syariat, level 2 thariqat, level 3 hakikat, level 4 ma’rifat.

Mereka yang duduk pada maqam taat thariqat akan mendapat tsawab berupa surga (jannah) level thariqat, surga thariqat di dunia, barzakh dan akhirat. Mereka yang taat pada level hakikat akan mendapat tsawab jannat hakikat (surga atau taman) di dunia, surga hakikat di barzakh, surga hakikat di akhirat. Dan mereka yang telah duduk pada tingkat ma’rifat, sesuai dengan tingkat ma’rifat akan mendapat tsawab berupa surga ma’rifat di dunia, barzakh dan akhirat.

Setiap amal taat bertingkat pula, amal taat syariat, amal taat thariqat, amal taat hakikat, amal taat ma’rifat. Sedangkan amal dosa mengundang siksa (Arab; niqmat, ‘uqubat) berupa neraka yang bertingkat-tingkat. Amal dosa juga bertingkat, dosa syariat berdampak hukuman syariat, dosa thariqat berdampak hukuman thariqat, dosa hakikat berdampak hukuman hakikat, dosa ma’rifat berdampak hukuman ma’rifat. Dosa hakikat dan ma’rifat adalah mempersekutukan Allah SWT, syirik dosa yang tidak terampuni ketika pelaku syirik telah meninggal dunia tanpa taubat.

Perluasan arti taqwa juga menyadari ketiadaan diri, maka diri beriman, beramal dan berserah diri, sungguh mereka adalah penduduk surga (ashhabul jannah). Satu kartu kependudukan surga yang berisi iman, amal shaleh dan berserah diri. Meyakini asal diri yang tiada (‘adam) di alam dunia, keyakinan hamba Allah SWT kepada alam qadim, bukan kepada alam huduts (baharu). Baharu alam dunia yang diadakan (majazi) dan yang datangnya kemudian (akhirun), baharu alam barzakh yang diadakan (majazi) dan yang datangnya kemudian (akhirun), baharu alam akhirat yang diadakan (majazi) dan yang datangnya kemudian (akhirun). Iman atau keyakinan apabila meyakini sesuatu yang hakikatnya tiada (‘adam), baharu (huduts) dan lemah (‘ajuz), hakikatnya juga hamba mendapat siksa, sebab keyakinan iman telah mendua, meyakini jabatan Tuhan (Rabb) dengan nama Allah SWT Al-Wujud, dan meyakini juga alam-alam yang hakikatnya tiada (‘adam), meyakini alam-alam yang hakikatnya baharu (huduts), meyakini alam-alam yang hakikatnya lemah (‘ajuz), meyakini alam-alam yang hakikatnya setara dalam kelemahan dan ketergantungan kepada sesama karena ketidakberdayaan makhluk (ihtiyaju ilal mahalli awil muhassisi), meyakini sesuatu yang penuh keterpaksaan (karahah) tanpa kebebasan berbuat, tanpa kebebasan berbicara, alam-alam dunia, barzakh dan akhirat merupakan alam-alam yang berada dalam lingkar kematian (maut), alam-alam dalam lingkar kebodohan dan kebohongan (jahil), alam-alam dalam lingkar kelemahan (‘ajuz), alam-alam dalam lingkar keterpaksaan (karahah), alam-alam dalam lingkar ketulian (summun), alam-alam dalam lingkar kebutaan (‘umyun), alam-alam dalam lingkar kebisuan (bukmun). Disini kepentingan dan kegunaan ma’rifatullah billah yang tiada tertutup walau oleh awan mendung, tiada terhijab walau oleh setipis kulit ari, tiada mendung lagi, sudah terbuka dinding, hanya ada esa, esa, esa, ahad, ahad, ahad.

Dalam praktik beragama sungguh telah banyak keyakinan-keyakinan pada diri (person) selain Allah SWT Al-Ahad, diri-diri yang mewujud menjadi yakin dan keyakinan adalah wujud malaikat, manusia dan jin. Ketiganya berhakikat ‘adam (sifat tiada). Apabila terhenti pada perhentian-perhentian (stasiun) malaikat, manusia dan jin, itulah syirik atau meyakini wujud persekutuan-persekutuan di samping Allah SWT sebagai ilah (tuhan-tuhan) yang manusia syirik menyembah kepada hakikat yang buta, bisu dan tuli. Demikian juga alam-alam yang diciptakan adalah makhluk ‘adam, majazi, diri martabat alam arwah adalah makhluk, ‘adam, majazi, seterusnya adalah berada dalam keadaan jasmani dan kesuasanaan rohani yang bernama makhluk majazi di martabat alam amtsal, alam ajsam dan alam insan.namanya, ‘adam (tiada) sifatnya, majazi (fatamorgana) dirinya. Diri martabat alam wahdah adalah makhluk, ‘adam, majazi, diri martabat alam wahidiyah adalah makhluk,’adam, majazi, diri martabat alam arwah adalah makhluk, ‘adam, majazi, seterusnya adalah berada dalam keadaan jasmani dan kesuasanaan rohani yang bernama makhluk majazi di martabat alam amtsal, alam ajsam dan alam insan.

Keyakinan taqwa sangat bergantung kepada sejauh mana tingkat iman terhadap ruang dan waktu, disitulah ruang perhentian (mauquf) kualitas derajat perlakuan tindakan dan pelayanan. Semakin banyak keyakinan kepada selain Allah SWT sebanyak itu pula ruang-ruang perhentian, ruang-ruang tes, ruang-ruang tanya-jawab, ruang-ruang pemeriksaan, ruang-ruang penelitian, ruang-ruang tindakan, ruang-ruang penyiksaan.

Sungguh ma’rifat iman tidak menyoal ruang-ruang tersebut. Bahkan ruang-ruang tersebut menjadi penghalang, pendinding menuju tauhidiyah ahadiyah. Bahkan hanya membawa pikulan berat sebagai pukulan bagi diri yang lemah (‘ajuz), “wayahmiluna awzarahum ‘ala dzuhurihim, sa-ama yazirun,” artinya; dan mereka membawa pikulan berat (amal) di atas punggung mereka, ketahuilah, sungguh jahat apa yang mereka pikul (mengandalkan amal).

Lingkup waktu dan masa-masa (mauqut) yang diyakini pun menjadi perhentian-perhentian antara abdi dengan rabbi, antara hamba dengan tujuan, tujuan bukan barzakh, bukan akhirat. Barzakh dan akhirat adalah makhluk, lalu masih diperlukan atau tidak keimanan adanya motivasi (dorongan) beramal untuk selamat dunia dan akhirat, bukankah keduanya merupakan alam yang hakikatnya bersifat ‘adam (tiada), keduanya merupakan alam yang hakikatnya bersifat huduts (baharu), keduanya merupakan alam yang hakikatnya bersifat fana (hancur binasa). Tiada, baharu dan hancur binasa adalah sifatnya dunia fisika dan dunia non fisika, seperti kehancuran alam dunia dan kehancuran alam akhirat. Tegak, lurus adalah Allah SWT Al-Ahad dalam derivasi (pecahan) namaNya menjadi nama-nama mulia Nya, Al-Ba’its (maha membangkitkan), Al-Muqaddim (maha mendahulukan), Al-Muakhkhir (maha mengakhirkan), Al-Badi’ (maha menciptakan), Al-Hasib (maha menghitung), Al-Muhshi (maha membuat perhitungan), Al-Adil (maha adil), Al-Muqshid (maha seimbang), Al-Mu’thi (maha memberi), Al-Mani’ (maha menahan), Al-Mubdi’ (yang mahamendatangkan), Al-Mu’id (maha mengembalikan), Al-Jalil (maha luhur), Al-Bar (maha baik), Al-Karim (maha pemurah), Al-Ghafur (maha pengampun), Al- Wadud (maha pencinta).

Bersabda maha guru sang hakikat sejati dzahir batin dalam kalamullah hadits Nabi Muhammad SAW yang digolongkan ke dalam hadits Qudsi: “Ana ‘indadz-dzanni ‘abdibiy,” artinya: Aku tergantung kepada persangkaan hambaKu kepadaKu.” Jalan menuju Allah SWT ada jalan yang menggunakan persinggahan-persinggahan (stasiun) seperti alam dunia fisika (nyata), manusia yang meyakini bahwa ada (wujud) alam dunia, di dunia inilah lingkup ruang dan lingkup waktu baginya, apa yang dilakukan hanya sebatas keterangan tempat (dzaraf makan) dan hanya sebatas keterangan waktu (dzaraf zaman). Fokus pembicaraan, pengkajian, pendiskusian hanya alam fisika yang hakikatnya tiada, musnah, hilang dan binasa. Artinya, membicarakan tentang seseorang yang hakikatnya binasa (fana) dan ditanggapi oleh seseorang yang hakikatnya binasa pula (fana), bisakah yang binasa menilai yang binasa (fana) bisakah alam yang bersifat mati (maut) membaca kepada alam yang berhakikat sifat mati juga (maut), bisakah yang berhakikat sifat bisu (bukmun) bertanya tentang keagamaan, kemasyarakatan kepada alam yang sama-sama berhakikat sifat bisu (bukmun), bisakah alam yang berhakikat sifat lemah (‘ajuz) membantu alam yang berhakikat sifat lemah pula (‘ajuz), hakikat pribadi yang menyoal dan pribadi yang disoal adalah bahwa mereka sama-sama makhluk alam yang bersifat tiada (‘adam). Hakikat pribadi alam yang bersifat huduts tidak bisa mengomentari alam yang huduts (terbelakang), alam yang huduts (terkebelakang) pun tidak bisa mengomentari Allah SWT Al-Qidam (terdahulu).

Perhentian ruh iman menuju Al-Ahad apabila masih meyakini perhentian-perhentian jenjang alam, nanti begitu pula Al-Ahad memberikan pelayanan, perhitungan di dalam alam yang diyakini hambaNya. Perhentian-perhentian yang lama di alam barzakh, perhentian-perhentian yang lama di alam mahsyar, perhentian-perhentian yang lama di alam mizan, perhentian-perhentian yang lama di alam kitab amal (catatan amal), perhentian-perhentian yang lama di alam shirath (titian). Perhentian-perhentian lama atau sebentar di alam-alam tadi sangat tergantung dari prasangka, praduga hamba kepada Tuhan tentang waktu yang diwaktukan (mauqut) dalam sangkaan dan dalam dugaan hamba. Bisakah meyakini bahwa hakikat waktu (masa) adalah tiada, baharu dan fana sebagai sifat-sifat yang disandang alam. Bahwa bisakah meyakini yang ada bukan waktu, yang ada bukan dunia, yang ada bukan akhirat, yang ada bukan surga, yang ada bukan neraka, yang ada bukan Muharram, Safar, Rabiul Awwal dan seterusnya, maha ada hanyalah wujud kebenaran hakiki tunggal esa, esa tiada mendua adalah keyakinan dari kaum yang benar (wahum shadiqun).Akan sangat lama waktu di halte atau stasiun perhentian yang diyakini ruh iman setimbang dengan dugaan kuat hamba kepada Ku, Al-Ahad (dzanni abdi-biy). Dia telah berfirman: “Belumkah sampai kepadamu (dariKu) tentang berita negeri-negeri akhirat, tentang warta alam masa qiyamat? (Al-Ghasiyah:1). Dalam ayat lain disebut: ” Telah datang perintah Allah, maka janganlah kamu meminta disegerakan datangnya, maha suci Dia dan maha tinggi dari apa-apa yang kamu persekutukan. Dia menurunkan malaikat dengan ruh dari sebagian perintahNya kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hambaNya untuk memberi peringatan bahwa sesungguhnya hanya Dia (esa), tidak ada tuhan kecuali Aku (esa), maka wajib hanya kepadaKu sajalah (esa) kalian semua bertaqwa. Dia menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran, maha tinggi dari apa-apa yang mereka persekutukan.” (An-Nahl:1-3).

Jangan persekutukan Dia dengan alam dunia yang Dia ciptakan, jangan persekutukan Dia dengan alam akhirat yang Dia ciptakan, jangan persekutukan Dia dengan surga yang Dia ciptakan, jangan persekutukan Dia dengan neraka yang Dia ciptakan, jangan persekutukan Dia dengan perbuatan baik yang Dia takdirkan, jangan persekutukan Dia dengan perbuatan jahat yang Dia takdirkan, jangan persekutukan Dia dengan kekuatan yang Dia tetapkan, jangan persekutukan Dia dengan kelemahan yang Dia tetapkan, jangan persekutukan Dia dengan kelebihan seseorang yang Dia putuskan dengan palu putusanNya, jangan persekutukan Dia dengan kekurangan seseorang yang Dia putuskan dengan palu putusanNya. Jadi, alam dunia dan alam akhirat, alam dzahir dan alam batin, alam surga dan alam neraka, baik-buruk, benar-salah, lebih-kurang, kuat-lemah adalah milik Allah SWT Al-Ahad yang tidak ada hak hakikat sedikitpun manusia menilai dan menyangga maupun menyanggah.

Inilah visual taqwa yang khalish, mukhlis dalam perbuatan beragama. Bukan taqwa yang menempel di baju atau celana. Arti dan keberartian apa yang Aku (Allah) perbuat, adalah Allah SWT senangi. Aku (Allah SWT) ciptakan surga-neraka adalah perbuatan Allah SWT Al-Khaliq maha pencipta, hak cipta, yang diciptakan oleh Nya pun telah Dia senangi berupa kebaikan-keburukan, kelebihan-kekurangan, keberhasilan-kegagalan, kebenaran-kesalahan, kesempurnaan-kecacatan, lalu manusia telah melebihi Tuhan dalam menilai, mengukur dan menentukan. Tuhan, Al-Majid memuliakan ciptaan bagaimana pun keadaan ciptaan Nya, Tuhan, Al-Hamid memuji ciptaan bagaimana pun keadaan ciptaan Nya, lalu mengapa ada manusia yang berani menilai manusia, padahal kedudukan mereka setara, mengomentari manusia, padahal kedudukan mereka sama, sama-sama ada diadakan, sama-sama hadir dihadirkan, sama-sama hidup dihidupkan, sama-sama mati dimatikan, sama-sama pulang dipulangkan, tanpa bisa membantah.

Makna dan kebermaknaan penting hakikat nama Nya di atas sangat dipahami oleh orang orang taqwa, sebab posisi taqwa letaknya di hati orang-orang yang taqwa, bermuara dan berlabuh di hati (fi qalbi) orang-orang yang bertaqwa. Dalam istilah shufi bahwa hakikat hati orang-orang yang bertaqwa adalah nama Allah SWT; fi qalbi jallallah SWT, fi qalbi asma Allah SWT, fi qalbi rahmatullah SWT, tingkat taqwa paling tinggi di dalam Allah SWT Al-Ahad (fillah). Fillah rasa, bukan fillah rupa. Taqwa fillah fi qalbi, taqwa fillah di dalam rasa (sir). Artinya taqwa adalah suasana hati yang merasa berdekatan, berdekapan dengan Rabb. Bukan taqwa yang diumbar ke dalam rupa dan raga, sekiranya tidak bermuara dari rasa hati yang taqwa. Kecuali, taqwa yang raga merupakan refleksi dari taqwa yang rasa. Berdasarkan firman Allah SWT : “Demikian perintah Allah, dan barang siapa yang mengagungkan syiar syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketaqwaan hati.”( Al-Hajj : 32). Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *