KONTEKSTUAL INTERNAL DAN EKSTERNAL PAI

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Kontekstualisasi materi doa (akhlak), puasa (fikih), perang Badar (sejarah), minimal ketiga materi ini terkumpul dalam matapelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Jenis kontekstual ini disebut kontekstual internal, sebab masih berada pada kesatuan rumpun PAI, yaitu akhlak, fikih, dan sejarah kebudayaan Islam (SKI).

Pemaknaan yang diberikan dalam dua jam seminggu sudah melengkapi tiga perspektif (tinjauan). Dalam penjelasan berupa pengembangan, pengayaan dan pendalaman materi PAI. Pemberian tugas kepada siswa (resitasi) PAI-pun wajib memuat ketiga ranah kontekstual tersebut.

Dimana letak pengembangan materi secara tekstual dan kontekstual? Pengembangan materi secara tekstual adalah pengembangan materi dalam isi bahasan utama, misal materi puasa Ramadan. Bisa dalam bentuk penambahan materi yang belum ada dalam arahan kurikulum merdeka (KURMA).

Untuk itu, squensis (pengaturan yang berkesesuaian) dengan materi dan waktu menjadi penting. Penting dalam arti guru PAI membuat mapping (kemetaan), mana materi prioritas yang wajib disampaikan dengan ukuran capaian minimal, atau standar kompetensi minimal. Dan mana materi yang bersifat pengayaan dan pendalaman.

Sedang kontekstual materi PAI dibagi dua, secara internal dan eksternal. Kontekstual internal adalah pada rumpun PAI itu sendiri. Rumpun PAI terdiri atas SKI, Fikih, Quran Hadis, Akidah Akhlak. Adapun kontekstual eksternal adalah dengan tema yang sama, namun pada matapelajaran yang berbeda, seperti Fikihdengan Sosiologi, Akhlak dengan Sejarah, Hadis dengan Matematika.

Tugas guru dan mahasiswa calon guru di Fakultas Keguruan adalah mencari, menemukan, merangkai, menyusun materi supaya sistematis dan mudah untuk disampaikan. Laporan akademik berupa naskah RPP dan materi yang dirancang oleh guru atau mahasiswa keguruan yang kompeten. Tentu perancangan dan perencanaan guru bersama siswa, dan pihak ahli (stakeholder).

tujuan melibatkan para pihak dalam penyusunan RPP adalah sebagai rangka mengurangi dominasi guru terhadap siswa, wali siswa, dan sumber ahli. Pelibatan yang mengikut-sertakan ketiga pusat pendidikan dan sifat belajar. Adalah sifat pendidikan informal pada ranah keluarga, sifat pendidikan nonformal pada ranah masyarakat, sifat pendidikan formal pada ranah sekolah.

Sebuah kondisi pengembangan materi PAI yang harus digagas adalah menerima eksistensi kemajemukan paham, mengarus-utamakan maslahat daripada mafsadat. Oleh sebab itu, serba sedikit pengantar fikih (usul fikih) wajib disampaikan, supaya siswa atau masyarakat umum tidak menjadi “korban fikih.” Istilah yang dimaksud dengan korban fikih adalah memandang produk hukum, namun abai terhadap proses pengambilan hukum serta dampak yang dihasilkan. Tengarai terhadap persoalan permasalahan (musykilat) dalam praktik fikih adalah gagal dalam memahami usul fikih, tarikh tasyri’, tafsir ahkam, tafsir hadis ahkam, serta fikih kontemporer (al-ashriyyah). Termasuk pemahaman terhadap makna sharih dan kinayah, muhkamat dan mutasyabihat. Sungguh banyak piranti ushuliyah yang terlibat dalam satu topik bahasan. Sebab agama sudah bersentuhan dengan budaya, dan bersinggungan dengan kepentingan individual dan sosial (jamaah).

Pemahaman “kacamata kuda” terhadap ajaran Islam, bukan meninggikan nilai luhur agama, malah merendahkan nilai luhur agama. Kajian yang hanya mono perspektif akan mengerdilkan agama itu sendiri dalam kancah pergaulan internasional. Padahal, selamanya agama Islam tidak pernah bertentangan dengan science modern.

Mereka yang memisahkan agama dan science modern merupakan tindakan destruktif, agitatif. Kitab suci menyebut “tafarraqu dinahum syia ‘a,” menjadikan agama mereka terpecah-belah (tidak utuh, sepenggal-sepenggal).

Karakteristik (ciri khas) mereka sangat mudah dikenali lewat pengenalan ajaran dan praktik beragama. Umumnya mereka golongan kecil yang keluar dari kesepakatan kaum cerdik-pandai (keluar dari jumhur ulama). Doktrin mereka sangat keras (ekstrim), sehingga mereka tidak mengenal rukhshah (dispensasi) atau keringanan dalam hukum. Mayoritas mereka tidak menggunakan qiyas, ijma.

Selain mereka menihilkan sumber pengambilan hukum dari jalur ijtihad, mereka juga memahami ayat dan sunah secara dzahir ayat (dzahiri) dan harfiah (tekstual). Mengabaikan makna batin (maksud) ayat, menolak pemahaman makna, serta membuang sumber hukum seperti maslahah mursalah, serta tujuh item seperti istihsan, istishab, madzhab sahabi, syar ‘u manqablana, ‘urf, sadduz-zara’i, nasikhmansukh. Mereka mengatakan produk tersebut berasal dari luar. Sehingga wajib diwaspadai, dicurigai dan dibuang dari Islam, sebab mengandung kesesatan.

Pengembangan materi PAI selayaknya membuka cakrawala alam pikiran moslem scholar, student. Untuk membawa gerbong kereta ke arah kemajuan (falah), kebahagiaan (sa’adah) dengan pemanfaatan SDM (sumber daya manusia) dan SDA (sumber daya alam).

Inti dan tujuan akhir adalah masyarakat muslim yang tercerahkan dalam berperadaban global. Berperadaban global merupakan cita besar Islam yang tertuang dalam surah pembukaan, Al-Fatihah. Keselamatan dunia dan akhirat. Dunia bukan lawan bagi akhirat, dan akhirat bukan lawan dari dunia. Melainkan, dunia adalah sawah ladang akhirat. Kontradiksi keduanya tidak pernah disebutkan, hanya diperingatkan. Jangan melalaikan akhirat untuk dunia-mu, dan jangan melalaikan dunia untuk akhirat-mu. Dan jangan kamu menjadi beban manusia. Dipertegas kembali dalam surah Al-Qasas:77 yang tertulis di mushaf: “Dan carilah keutamaan yang telah Allah datangkan kepada-mu berupa (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan lupakan nasib-mu di dunia.” Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *