IDULFITRI

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

IDULFITRI, hari kemenangan yang dijanjikan sudah tiba, betapa Allah SWT tidak pernah mungkir janji. Sungguh yang kerap kali mengingkari janji adalah manusia. Janji pendidikan berbeasiswa, janji politik murah pangan, sandang dan papan. Termasuk banyak janji yang belum terpenuhi. Jangan mudah berjanji, apalagi bersumpah. Sebab janji adalah hutang, dan hutang akan ditagih. Adapun sumpah pasti diminta kebenaran sumpah-nya.

Ketika Ramadan, kita terbiasa dengan puasa. Kerinduan tersebut Tuhan obati dengan puasa enam hari di bulan Syawal. Kerinduan pada taraweh bisa ditebus dengan salat malam. Dimana pada sepertiga malam yang akhir, Tuhan turun ke langit dunia, sembari menanyakan: “Hal min sa-ilin? Hal min mustaghfirin?” Siapakah yang ingin mengadukan persoalan hidupnya kepada-Ku?Siapakah yang ingin memohon ampun atas dosa-dosa? Aku yang maha pengampun, dan Aku mudahkan segala urusan-mu.

Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seperti dia berpuasa setahun penuh.” (Hadis riwayat Muslim). Logika numeriknya adalah 30+6=306. Kelipatan pahala yang Tuhan anugerahkan kepada umat akhir zaman, menjadi 306 hari yang setara dengan satu tahun. Malah karunia-Nya bisa lebih besar lagi, saat tidak bisa dihitung sebab melampaui matematika manusia. Allah melipatgandakan pahala kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas karunia-Nya, Allah maha mengetahui setiap hamba-Nya (Alwasi’, Al’alim).

Romantisme umat kepada salat malam di bulan Ramadan, tatkala Tuhan jadikan tahajjud senantiasa hadir di dalam dan di luar bulan Ramadan, sebagai pelipur rindu. Demikian pula salat witir yang selalu didawamkan (dilestarikan) sehingga menjadi tradisi para nabi, para wali, dan orang-orang saleh. Kedua ibadah salat sunah yang dapat didirikan meski tarawih telah tiada. Namun spirit (semangat) tulus beragama tidak tergerus oleh kepergian Ramadan.

Idulfitri dalam kehidupan ibarat daur ulang (restart) komputer karena banyaknya virus. Rusak dan lambannya jalan komputer disebabkan beban yang dipikulnya. Begitu juga kehidupan, dosa menyebabkan kehidupan ini terasa menyiksa. Dosa ibarat virus di komputer. Ketibaan Ramadan dan kepergiannya sudah banyak membuat orang berubah (hijrah). Dengan catatan, perubahan harus didasarkan ilmu pengetahuan dan kesadaran. Bukan atas dasar jahil dan kebodohan. Perubahan atau hijrah yang didasari ilmu akan melahirkan perilaku adab dan maslahat (membangun). Sementara hijrah yang tanpa didasari oleh ilmu (hijrah tetapi tetap jahil), tidak mengikuti ajakan baik berdasarkan ilmu, hanya akan melahirkan perilaku biadab dan mafsadat (merusak), dan menyisakan penyesalan bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Hari ini umat merosot karena meninggalkan ilmu, sehingga hampir kurang memberikan perhatian terhadap-nya. Meski merasa hijrah tetapi belum fitrah, idulfitri mengajak kepada keduanya, hijrah dan fitrah, fitrah dan hijrah.

Keduanya (hijrah dan fitrah) akan benar saat didasari ilmu yang benar, bukan ilmu yang salah. Disinilah umat perlu mencermati ajaran agama yang dipelajarinya. Agama yang dipelajari sudah bersentuhan dengan pemikiran manusia berabad-abad yang membentuk piramida pengetahuan dan pengamalan. Akulturasi agama dengan budaya telah menciptakan tradisi (sunnah). Lagi-lagi, umat disuruh cerdas memilih dan memilah agama (din) atau budaya (Arab ‘adah, Indonesia adat). Jangan terjebak meninggalkan adat setempat, kemudian terjerumus kepada adat bangsa Arab. Sebab Arab bukan Islam, dan Islam bukan Arab. Adapun mayoritas suku Arab beragama Islam sudah menjadi fakta sejarah. Idulfitri hari ini kembali mereposisi dan merekognisi beragama sebagai fungsi utamanya. Untuk kembali kepada kesucian di hari nan fitri. Hari nan fitri mengajarkan cara pandang (paradigma) bahwa semua manusia terlahir dari rahim ibu yang suci. Kesucian itulah yang diterima Tuhan. Postulat agama berangkat dari kesucian primordial, bukan kekotoran. Daur ulang untuk kembali kepada fitri menjadi idaman setiap insani.

Renungan diri pada sepuluh malam terakhir Ramadan jangan dilupakan, bersama lantunan ayat-ayat suci oleh imam-imam hafidz. Membersamai ayat-ayat dengan penghayatan makna, maksud, dan tujuan murni Tuhan menghadirkan diri dan alam semesta merupakan bukti kasih-Nya yang terbesar. Ibadah Ramadan yang ditunaikan hamba merupakan bukti bahwa Dia ingin selalu mempersahabati da dipersahabati hamba. Dalam doa: “Rabbi la takilni ila nafsi tharfata ‘ain. Wakun ma’i fi hali watirhali.” Tuhan, jangan engkau serahkan aku kepada diriku walau sekejap mata. Jadilah Engkau sahabat yang selalu bersama-ku dalam kepergian-ku dan kediaman-ku. Artinya, pengalaman spiritual sepuluh malam terakhir itu, hari ini dan selanjutnya jangan pernah dilupakan. Maksudnya jangan lupakan Allah yang sangat pengasih dan penyayang. Dialah Tuhan yang selalu hadir saat sehat dan sakit. Tuhan yang senantiasa melayani ketika semua orang telah pergi. Termasuk Ramadan telah pergi menghilang dihadapan kita, sungguh yang tetap tertinggal dan tersisa abadi selamanya hanya Allah SWT. Ramadan mulia, tetapi pemilik Ramadan jauh lebih mulia. Sangat mulia, sehingga Dia tidak mau disaingi meski oleh bulan Ramadan. Sebab itu, matahari terbit dan terbenam. Bulan bermula dari sabit, kemudian purnama dan kembali sabit atau seperti bentuk tandan yang tua (kal ‘urjunil qadim).

Sebenarnya hari-hari adalah ayat Tuhan yang terlaksana dan alam semesta ayat-Nya yang terbentang. Mereka telah Tuhan atur dengan pengaturan (takdir) yang jelas. Pengaturan dari Tuhan yang maha perkasa lagi maha mengetahui. Demikian pula waktu matahari, waktu bulan, waktu bintang, semuanya beredar dalam pengawasan-Nya. Dalam titah-Nya: “Dan matahari beredar pada orbitnya. Demikian ketetapan (takdir) dari yang maha perkasa, maha mengetahui. Dan Kami telah menetapkan bulan pada tempat peredaran-nya (bersiklus). Pada tempat terakhir seperti bentuk tandan yang tua (sabit). Tidak mungkin matahari mendahului bulan, tidak mungkin malam melampaui siang. Masing-masing beredar pada orbitnya.” (Yasin:39-41). Disini letak pemahaman bahwa bulan termasuk Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal adalah makhluk (ciptaan) Allah SWT.

Menjadi keterangan (burhan) untuk perintah mentauhidkan Allah semata, dan sekaligus larangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, termasuk dengan Ramadan atau utusan Tuhan sekalipun. Bukan bernilai ibadah apabila dalam salat masih mempersekutukan-Nya, atau dalam puasa terdapat diri kuasa yang mampu berpuasa. Telah Tuhan tandaskan dalam banyak firman-Nya. Dan menjadi pembeda (furqan) bagi yang benar-benar beriman dan beramal dengan yang hipokrit (munafik). Sehingga terpisah antara yang tulus dan yang penuh pamrih. Ikhlas dan riya’, persahabatan dan permusuhan, kesetiaan dan perselingkuhan. Ibarat terpisah antara emas dan imitasi.

Denyut getaran (vibrasi) hati, ruhi, nuri, setiap yang merayakan idulfitri tentu berbeda. Sangat tergantung pada kedalaman makna dan penghayatan batin dari masing-masing individu umat. Bagaimana relasi dan interaksi dengan Tuhan selama Ramadan menjadi penentu kualitas amal, bukan sekedar kuantitas amal. Ketiganya sangat bernilai di sisi Tuhan, wajilat qulubuhum, wajilat arwahuhum, wajilat nuruhum (bergetar hati, roh, nur). Energi ketiganya terdapat di jiwa kaum beriman.

Idulfitri datang mengingatkan seseorang akan kepastian hari kembali kepada Tuhan. Hari ketika kami kembali (raji’un) adalah hari berjumpa Tuhan, hari kemenangan, hari terkabul semua doa permintaan (minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin). Berdasarkan firman: ” … Maka siapa yang berharap untuk berjumpa dengan Tuhan-nya, hendaklah dia beramal dengan amal yang saleh. Dan jangan mempersekutukan Tuhan-nya dalam ibadah dengan sesuatu apapun.” (AlKahfi:110).

Jangan kotori kesucian idulfitri dengan minuman keras (miras), berjudi, berzina, dan perbuatan menghamburkan harta (israf), makanan dan minuman (mubadzir). Idulfitri yang artinya kembali kepada fitrah berselaras dengan bulannya, Syawal. Syawal artinya peningkatan, peningkatan dalam iman, ilmu dan amal saleh.

Satu hal penting untuk menjadi perhatian adalah lemahnya umat terhadap penguasaan arti kata dalam Alquran. Sehubungan sebagian besar bahasa yang digunakan Alquran adalah bahasa Arab. Lalu, bagaimana bisa khusyuk salat malam berjamaah yang dipimpin oleh imam-imam hafidz, sekira para makmum tidak mengetahui dan tidak mengerti ayat-ayat yang dilantunkan imam, satu malam satu juz. Keadaan yang sangat memprihatinkan, umat yang memiliki betapa mulia kitab suci, namun kenyataan banyak umat muslim yang tidak paham dengan kitab mulianya. Ironi, kondisi umat yang terpuruk secara politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, saat kitab suci sebatas bacaan ritual semata. Maka tidak dapat ditawar lagi, sungguh penguasaan terhadap bahasa Arab sangat penting, selain salat bisa khusyuk yang ditandai ketersambungan rasa kepada Pencipta, juga ayat mengajak untuk berwisata jasmani dan rohani. Kisah-kisah umat terdahulu, ilmu pengetahuan, ibadah, akhlak, janji surga, ancaman neraka, keadaan umat pada waktu di dunia, kematian, alam kubur, kebangkitan sampai ke pengadilan Tuhan, semua dijelaskan dalam kitab suci.

Bila ibadah Ramadan tidak dimengerti, tidak dihayati, tetap berpahala, tetapi kurang sempurna, atau belum bermutu. Dan ibadah yang tidak dipahami pesanpesan Tuhan, sulit terjadi perubahan yang signifikan dalam membangun, tidak sekedar semangat beragama, tetapi juga inti beragama. Inti beragama diantaranya tauhid (tidak syirik), ikhlas (tidak korup), ridha (tidak dengki), qana’ah (tidak tamak), tawadhu’ (tidak takabbur), ‘alim (tidak jahil), syukur (tidak kufur), sabar (tidak gegabah), pemaaf (tidak dendam), pemurah (tidak bakhil), mempermudah
urusan umat (tidak mempersulit), ramah (tidak marah), peduli (tidak cuek), tanggungjawab (tidak abai).

Siklus Ramadan dan Syawal merupakan siklus tahunan, sudahkah keduanya memberi nilai manfaat bagi manusia sebagai pribadi dan masyarakat? Alhamdulillah jika sudah, maka lebih ditingkatkan lagi dalam aspek kedisiplinan, keteraturan. Sebab kedisiplinan dan keteraturan merupakan sunnatullah di alam semesta. Siapapun yang menaati sunnatullah pasti berdampak baik, di dunia dan di akhirat. Sedang siapapun yang melanggar sunnatullah pasti berdampak buruk, di dunia dan di akhirat. Sebab, sunnatullah tidak pernah berubah, sunnatullah tetap berlaku (konsistensi). Idulfitri sudah selayaknya dijadikan evaluasi diri untuk menjadi lebih baik guna menghadapi kehidupan sebelas bulan kedepan. Wallahua’lam.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *