SELAMAT JALAN RAMADAN

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Hari-hari terakhir Ramadan yang dijalani umat beriman akan mengantar kepergiannya menuju pelukan Tuhan. Bagaimana dengan kita hari ini? Masih bergelut dan bergerak memenuhi konsumsi hari raya. Kenyataan dihadapkan dengan kesibukan demi kesibukan, mudik atau milir menjadi tradisi bangsa yang sudah puluhan tahun. Hemat penulis, gunakan sisa waktu yang hanya beberapa hari lagi dengan zikir hati. Zikir hati saat berdiri, duduk, berbaring. Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW di dalam hati saat bepergian atau saat berdiam di rumah. Waktu istimewa Ramadan yang singkat lagi, akan pergi. Artinya, kesempatan akan hilang saat hari ini, doa diijabah, dosa diampuni, taat diterima. Perdetik, permenit Ramadan adalah masa ibadah diterima. Maka, semoga Allah SWT memperbaiki adab kita kepada Allah SWT dan kepada sesama hamba. Mengampuni dosa-dosa kita sebelum Ramadan kembali ke pemiliknya. Menjumpakan kita dengan Ramadan yang akan datang.

Fenomena Ramadan baik yang bersifat ibadah formal (mahdhah) maupun ibadah non formal (ghairu mahdhah) wajib diniatkan karena Allah saja. Bila ingin seluruh aktivitas kita bernilai ketundukan di sisi-Nya. Dalam semua kesempatan (in all sesion) harus dari dan untuk Allah (minallah, ilallah).

Memahami Ramadan sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan secara proporsional sama dengan bulan-bulan dalam penanggalan hijriah. Menempatkan Ramadan diantara 12 bulan milik Tuhan, meski Ramadan memiliki berjuta keutamaan (fadhilat).

Ramadan boleh pergi, namun yang harus tetap hadir adalah akhlak Ramadan. Akhlak Ramadan menyertai ibadah puasa Ramadan seperti menghormati privasi orang lain dengan cara berbaik sangka (husnudz-dzan), tidak berburuk sangka (su’udz-dzan). Tidak berbohong dan tidak menyebarkan berita palsu (hoax), tidak memfitnah dan tidak mengadu-domba (namimah).

Saling menghargai adalah nilai akhlak yang dititipkan Ramadan kepada hamba Tuhan (‘abdul-rabbani) yang senantiasa berkelanjutan (Arab: istimrar, Inggris: sustainable). Berlaku hukum: Al-Islam shalih fi kulli makan wa zaman (Islam yang selalu moderat pada semua tempat dan waktu). Bukan hamba Ramadani, hamba bulan Ramadan yang musiman. Sekedar contoh, ketika tiba musim durian, semua orang makan durian, saat musimnya berhenti berbuah, maka durian hilang dari pasaran.

Pasca Ramadan akan banyak kita saksikan hamba musiman, “kembali keselera asal.” Pelaku korup kembali kepraktik korupsi, bahkan lebih hebat dan luas cakupannya. Pelaku dzalim kembali menjadi dzalim, penipu semakin lihai merancang tipuannya. Mereka adalah tanda gagal meraih kemuliaan Ramadan dan kandas menuju lailatul-qadar.

Sebab itu, hamba rabbani meski Ramadan berlalu, mereka bisa menjaga “kebaruan dan kehangatan” Ramadan. Kajian kitab Tuhan tetap digelar di luar Ramadan, nostalgia Ramadan dapat mereka ciptakan dan wujudkan untuk 11 bulan yang akan datang. Tiadalah Ramadan ke Ramadan, Jumat ke Jumat, salat ke salat, kecuali masa pengampunan dosa.

Mereka yang beragama secara musiman banyak ditegur Allah sebagai orang yang tidak konsisten (tidak istikamah) dan tidak jujur dalam menaati Allah SWT. Sebagai yang sudah Dia jelaskan disebaran kalam suci-Nya.

Kalam suci-Nya: “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka kembali mempersekutukan Allah. Biarkan mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Nanti mereka (di akhirat) akan mengetahui akibat perbuatannya.” (Al-Ankabut:65-66). Maknanya, mereka berdoa tulus kepada Allah ketika lapar (berpuasa), namun ketika kenyang (berbuka), mereka melupakan Allah. Jangan menjadi orang yang mencari kasih Tuhan ketika miskin, setelah datang kekayaan, mereka melupakan Allah, seakan tidak pernah berdoa kepada-Nya. Surah Yunus ayat 12 menggambarkan perilaku mereka: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, atau duduk, atau berdiri. Apabila Kami hilangkan bahaya dariya, dia kembali ke jalan yang sesat. Seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang menimpanya. Demikian dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas terhadap apa yang mereka kerjakan.”

Secara organik, orang yang menjadikan Ramadan sebagai Tuhan (hamba ramadani), akan beribadah di dalam bulan Ramadan saja, sedang di luar bulan Ramadan tidak. Namun berbeda bagi hamba rabbani, qiyamullail yang dikerjakan empat rakaat satu kali salam, sebagaimana yang sudah dikerjakan Rasulullah SAW di dalam dan di luar Ramadan, namun jangan tanyakan seberapa lama salatRasulullah SAW, demikian hadis yang diwartakan dari Aisyah. Hadis tersebut menandakan kerinduan kepada Tuhan sang pemilik Ramadan. Sedang hadis yang diwartakan dari Abu Hurairah bahwa salat malam adalah dua rakaat satu kali salam. Adalah salat malam dikerjakan dua rakaat-dua rakaat (shalatul-laili matsnamatsna). Kedua hadis ini menggambarkan bahwa kemesraan Ramadan harus terwujud di luar Ramadan. Demikian pula mengerjakan puasa sunah merupakan obat perindu bagi puasa wajib Ramadan. Sehingga Rasul menyuruh puasa sunah pasca Ramadan yang disebut puasa enam hari di bulan Syawal.

Kemudian, pesan apa yang akan dititipkan Ramadan yang sebentar lagi akan pergi? Pertama, adalah sensitivitas kemanusiaan yang selalu diasah. Ditengah pergulatan ekonomi “wong cilik” yang sekedar ingin mempertahankan hidup. Banyak orang-orang tua yang seharusnya menikmati istirahat masa senja, namun masih bergelut mencari sesuap nasi. Kepada mereka yang “don’t have” sepatutnya perhatian kita berikan. Jangan menawar barang, buah, sayur, minuman dan barang yang mereka jual. Seharusnya kita bisa memberi uang lebih dari harga yang mereka jual. Sebab apa yang mereka jual hanya sekedar untuk mengganjal perut dari rasa lapar. Tujuannya, berpuasa sebulan penuh wajib menumbuhkan rasa iba dan kepedulian terhadap kaum yang lemah. Berpuasa sebulan penuh harus menghadirkan perasaan senasib-sepenanggungan sebagai satu-kesatuan persaudaraan kemanusiaan, dan persaudaraan kebangsaan.

Ramadan menitipkan pesan moral kedua yaitu keadaban dalam profesi. Ibadah puasa bermuatan adab dan keadaban dalam pelaksanaan-nya seperti disiplin, jujur, sabar, ulet, tahan uji, berorientasi pada mutu puasa, pemanfaatan waktu senggang, keteratutan serta fokus pada tujuan. Nilai-nilai luhur puasa Ramadan tersebut seyogia selaras dengan kehidupan seseorang, terutama profesi yang setiap hari mereka kerjakan.

Profesi apapun menuntut etos dan etis kerja. Keduanya dirangkum menjadi kode etik profesi. Profesi merupakan gambaran kualifikasi dan kompetensi. Kualifikasi biasa ditunjukkan dengan jenjang pendidikan yang ditempuh, pendidikan kejuruan atau pendidikan umum, eksakta atau humaniora. Adapun kompetensi merupakan keahlian di bidang yang ditekuni (konsentrasi). Tuhan sering mencontohkan Daud sebagai pekerja profesi yang unggul. Teknologi konstruksi baja merupakan andalan saat Daud memimpin, sehingga baja menjadi lunak ditangannya (alantal hadid biyadih). Keluarga Daud adalah keluarga profesi yang dipuji oleh Tuhan. Kesyukuran mereka disebut di dalam kitab Allah, seperti kesyukuran Adam (pertanian), Idris (ilmuwan dan tekstil), Nuh (perkapalan dan maritim), Hud (arsitektur), Luth (perkebunan kurma, anggur), Saleh (peternakan), Ibrahim (pemerintahan dan diplomat ulung). Mereka para nabi yang memiliki keterampilan dalam hidup (life skill). Bahkan setiap manusia diberi Tuhan kecakapan, kepandaian, ketangkasan, kecerdasan, keterampilan sejak lahir. Psikologi menyebut bakat (bawaan atau kapasitas), Tuhan sudah berfirman pada surah Al-Isra’ ayat 84: “Katakan (Muhammad), setiap orang bekerja sesuai dengan bakatnya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sebenarnya berada pada jalan petunjuk.”

Alquran penuh dengan bukti (evidence) saat menyampaikan informasi, artinya argumentasi yang diberikan selalu berdasarkan data dan fakta yang sudah teruji. Berbasis fakta sejarah, antropologi, sosiologi, biologi, antariksa, alam semesta, dan kehidupan akhir (eskatologi). Mengingat bahwa dihadapan Tuhan terdapat tanggungjawab profesi sampai profesi seorang pencari kayu bakar, pasti diwawancarai, diobservasi dengan bukti-bukti yang dihadirkan (bayyinat) di pengadilan akhirat kelak.

Pesan akhlak Ramadan tahun ini ditujukan kepada seluruh kalangan profesi yang bukan saja kerja profesional tetapi juga moral profesional (hayana-taqiyya). Contoh, profesi dokter yang ramah akan memberi sugesti kepada pasien untuk tenang. Unsur ketenangan akan mempercepat kesembuhan pasien. Misal profesi guru, bila guru mengajar dengan kriteria softskill, peduli, pemaaf, pengasih, penyayang, akan berefek pada perkembangan multi kecerdasan siswa. Sebaliknya, jika dokter pemarah dan guru pemarah, auto pasien menjadi lebih pemarah dalam proses pengobatan dan siswa menjadi lebih pemarah dalam proses pembelajaran. Disini, berlaku adagium lama “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Atau pepatah memadah: “Bagaimana gendangnya, begitu juga penarinya.”

Demikian tulisan dihadirkan bertujuan mengantar kepulangan Ramadan. Namun bekas yang ditinggalkan sebagai warisan berharga menjadi modal bangsa dalam menjalani hari-hari kedepan dengan semangat ramadani. Allahu rabbi, aku rida Allah Tuhan-ku, Islam agama-ku, Muhammad nabi-ku. Selamat jalan Ramadan berupa detik-detik perpisahan (alwada’ ramadhan). Selamat datang Syawal dan idulfitri. Mohon maaf lahir batin. Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, shalihan a’mal, kullu ‘am wa antum bikhair, taqabbal ya karim. Mudahan Allah menerima dari kami dan dari-mu, puasa kami dan puasa-mu sebagai amal saleh. Sepanjang tahun dalam kebaikan.Terimalah wahai yang maha pemurah. Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *