ZAKAT FITRAH KEMBALI KEPADA KESUCIAN DIRI

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

JUDUL di atas memiliki kesamaan tema yang didalamnya mengandung tujuan (ghayah), bahwa zakat fitrah merupakan upaya esensi penyucian diri. Zakat mal (zakat harta) sebagai upaya menyucikan harta. Esensi keduanya sangat dekat, harta menopang jiwa, jiwa menopang harta. Keniscayaan, keduanya harus dibersihkan (makna zakah). Capaian tertinggi dalam beragama, apabila memuat penghayatan diri. Secara bahasa, zakat artinya bersih, suci, sempurna. Dalam pengembangan bahasa, adab dan ilmu, zakat yang beradab adalah mengantarkan kepada yang menerima, bukan pakai kupon, apalagi antri dan disorot oleh kru media. Zakat dalam agama luhur bukan mempertontonkan kemiskinan sebagai wahana dulang suara atau popularitas organisasi, kelompok atau perorangan. Mungkin Tuhan sudah muak dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Bencana alam yang hampir melanda seluruh kepulauan dalam negeri, boleh dipahami cara manusia telah keliru memahami kehendak wahyu. Akibat terparah dari pamrih, sehingga kehilangan welas asih, asah, asuh.

Tiga perilaku mulia di atas hampir tidak kita temui di masyarakat, asih, asah, asuh. Orientasi komersil sangat mengemuka dalam kehidupan sehari-hari. Meski jarang, tetapi masih ada. Zakat bisa disebut sebuah gerakan memulai kepedulian, kesetia-kawanan, bersahabatan lillah, persaudaraan di dalam kasih Allah (ikhwan fillah). Sebab, tujuan zakat mendekatkan yang jauh, membersihkan yang kotor, mengurangi kesenjangan dalam masyarakat, dan mengurai kusut-masai kehidupan.

Kembali ke fitrah, fitrah memiliki banyak arti, namun berintikan kesucian diri. Sebelum ada penyebutan, perbuatan, sebelum ada pikiran dan perasaan, itulah alam fitrah. Sebab perkataan dan perbuatan bisa memantik dosa atau pahala. Sebelum itu semua, bahkan sebelum ada petunjuk syukur dan kufur. Umpama, kertas putih yang belum terdapat tinta hitam, merah, biru, hijau, kuning.

Fitrah dapat disebut keadaan netral (semula jadi). Netralitas juga dimaknai menarik garis lurus dari dan untuk Allah, bukan pahala dan bukan dosa. Keduanya masih berada dalam keadaan tipuan, pahala bisa menjadi tipuan samar, dosa bisa menjadi tipuan kasar. Firman Tuhan: “Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam) sesuai fitrah Allah. Sebab Dia mencipta manusia menurut fitrah. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum:30).

Kembali kepada kesucian diri (‘idulfitri) berarti diri yang belum tercemari oleh pahala, dosa, nikmat, bala’. Diri yang sepenuh hati berserah diri untuk Pencipta. Hidup dihidupkan, mati dimatikan, mendengar didengarkan, melihat dilihatkan, berkalam dikalamkan. Jasa dan andil manusia yang merasa mampu mendatangkan pahala dan menolak dosa, bukan fitrah namun rekayasa. Kembali pada fitrah bermakna menyerahkan seluruh taat kepada-Nya, sang pemilik taat.

Sebaik-baik hamba bukan pada saat salat, puasa, zakat, haji dan umrah, melainkan hamba yang fakir dan hakir dihadirat-Nya. ‘Abdul muththarri, hamba yang bersih dari keterikatan, keterlibatan, dan kepemilikan apa dan siapa. Melepaskan kekuasaan harta, jiwa, dan merdeka akal dari menuntut dan dituntut makhluk. Merdeka diri dari jeruji penjara ego, dan dari penjara halu. Atau kaum mukhbitin, yaitu kaum yang tunduk total kepada Tuhan (baca Al-Haj:34-35). ” … Maka Tuhan-mu adalah Tuhan yang esa, berserah diri sajalah kamu pada-Nya. Dan berikan kabar gembira kepada kaum yang tunduk. Mereka bercirikan jika diingatkan tentang Allah, bergetar hati mereka. Mereka bersabar atas musibah yang menimpa mereka. Mereka pendiri salat, dan menafkahkan sebagian harta mereka (di jalan Allah).”

Sebab itu, kewajiban zakat fitrah setiap tahun dibayarkan selain untuk membersihkan puasa orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia, durhaka (fusuq), cabul (rafats), dan bertengkar (jidal). Pun memiliki makna mengenang kembali alam primordial dan nilai luhur ketundukan dan kesucian apa adanya, nilai yang tidak memuji diri dan tidak menghina orang lain. Tidak melecehkan orang lain, namun tidak pula memujinya. Berlaku wajar adalah kembali fitrah. Akan tiba saatnya, ketika semua tataran pujian dan hinaan adalah hipokrit atau kamuflase.

Perayaan fitrah inilah yang dirayakan setiap tahun, sebagai perayaan siklus tahunan yang bersifat universal. Tanpa memandang kelas sosial, kelas ekonomi, kelas akademik dan pranata hukum. Hakikat semula jadi manusia adalah suci, dari rahim manapun dia dilahirkan. Asal keturunan manapun dia datang, sungguh yang mulia bukan imam bukan makmum, bukan India bukan Indonesia, bukan Yaman bukan Oman. Sungguh hanya Tuhan Esa yang maha mengetahui kemuliaan seseorang di sisi-Nya. Surah Alhujurat:13 menandaskan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah SWT adalah yang paling bertakwa. Takwa bukan milik penguasa, takwa bukan milik pengusaha, takwa bukan milik rakyat jelata, takwa bukan milik si-miskin papa, takwa bukan milik si-kaya raya, takwa milik Allah SWT. Sungguh hanya Dia yang maha mengetahui lagi maha meneliti (‘alim khabir).

Kembali kepada kondisi fitrah yang wajib dipahamkan untuk semua orang, bahwa mereka adalah sama. Konstruk sosial yang telah membedakan kelas manusia, membandingkan mereka sehingga layanan kemanusiaan menjadi bertingkat dan berjenjang. Perayaan fitrah adalah menghapus sekat bertingkat dan membuang kelas berjenjang. Dalam firman: “Dan suruhan berpegang teguh kepada tali (agama) Allah, dan jangan bercerai-berai. Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu, dahulu kamu bermusuhan (masa jahiliyah). Kemudian Allah menjinakkan hati-mu. Menjadilah kamu hamba Allah yang bersaudara dengan nikmat-Nya. Dan dahulu kamu sudah berada di tepian jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu. Demikian itulah Allah membuktikan ayat-ayatNya kepada-mu. Mudahan kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran:103).

Fitrah adalah nilai kosmopolitantisme Islam yang universal. Universe dapat menampung jamak kepentingan. Kosmopolitan yang menerima seluruh keragaman aliansi, organisasi, kelompok studi, bahkan potensi bawaan dari sebab kelahiran (capacity) atau sebab pelatihan dan pembelajaran (ability). Persaudaraan universal, ekonomi-politik universal, beserta kebangkitan rohani yang menyertainya. Bila ini telah menjadi praktik, niscaya kedamaian bersama akan dihadirkan dan ditemukan. Zakat fitrah satu dari media yang mengusung nilai keadaban global.

Artinya, filosofi zakat fitrah yang bersifat universal selain mendobrak kultur parsial, mengusung pula netralitas warna politik dan jubah akademik. Sering kali warna dan jubah men-deviasi seseorang pada kelasnya. Bahkan men-judge seseorang berdasar status yang disandang, seperti atribut agama, aliran budaya, keberpihakan politik, kepemilikan harta dan asesoris. Maupun hubungan (relasi) alim-awam, atas-bawah, laki-perempuan, guru-murid, dan sebagainya. Termasuk pahala-dosa, keduanya warna gerak kehidupan, bukan fitrah. Justru fitrah tidak berdosa dan tidak berpahala. Maksudnya, menghadap Tuhan harus dengan fitrah. Fitrah tanpa membawa gundukan pahala, dan tanpa menyeret tumpukan dosa. Pulang secara fitrah adalah pulang sebatang kara, tanpa membawa apa dan tanpa membawa siapa. Berarti, membawa apa dan membawa siapa adalah beban punggung dalam perjalanan pulang menuju negeri akhirat (auzarahum ‘ala dzuhurihim).

Theologi zakat fitrah adalah untuk membersihkan orang yang berpuasa dan sebagai makanan bagi orang miskin. Berdasarkan sabda Rasul dari sahabat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa, dan sebagai makanan bagi orang miskin. Siapa yang membayarkannya sebelum salat ‘id, maka dia adalah zakat fitrah yang diterima. Dan siapa yang membayarkannya setelah salat ‘id, maka dia menjadi sedekah dari sedekah biasa.”

Sedang dalam tinjauan yurisprudensi hukum Islam (fikih), nisab (ukuran minimal) zakat fitrah adalah 2,5 kilo gram makanan pokok setempat. Beras merupakan makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia. Demikian hamba yang ingin meraih ampunan dari Tuhan-nya dan surga, surga seluas langit dan bumi, surga disediakan untuk hamba yang bertakwa. Indikator takwa diantaranya adalah sedekah (berinfak) dikala lapang dan sempit. Memaafkan manusia, dan gemar berbuat kebaikan sebagai jalan yang disenangi Allah SWT. Apabila terlanjur berbuat dosa atau menganiaya diri sendiri, mereka segera mengingat Allah dengan memohon ampun atas dosa-dosanya. Dan siapakah yang mampu mengampuni dosa selain Allah? Dan tidak mengulangi dosa, sedang mereka mengetahui. Wallahua’lam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *