Memoriam K.H. Mas’udi: Lebih dari Sekedar Tokoh

Oleh: Ma’ruf Zahran

BAGI penulis, beliau lebih dari sekedar tokoh. Testimoni ini bisa diurai dari pengalaman penulis sebagai “santri kalong” dalam arti bukan santri muqim. Menyandang predikat mahasiswa kala itu, antara tugas kuliah dan tugas nyantri, keduanya berjalan hampir tidak ada waktu yang terbuang. Bagi penulis, sebagai anak rantau yang menempatkan bahwa K.H. Mas’udi sudah menjadi ayah dan sekaligus guru, sebuah keberuntungan. Jadual mengaji kitab kuning dengan ayahnda K.H. Mas’udi tidak terikat kaku, namun ayahnda siap mengajar kapan saja. Waktu yang selalu tersedia adalah bakda salat subuh, bakda salat dzuhur, bakda salat asar, bakda salat maghrib dan isya. Dengan engkol sepeda, penulis melaju dari arah Kota Baru menuju Podomoro gang Dua. Nyantri penulis lakoni selama tiga tahun.

Very urgent, dihadapkan dengan galau hati yang selalu datang. Kehadiran galau kadang membuat hampa kehidupan, semua butuh dengan nasehat bijak-bestari. Istana kekayaan nasehat tersimpan pada tutur kalam panutan. Namun, Kyai tidak sekedar tokoh panutan, lebih dari itu. Kyai tokoh yang memiliki kesamaan kata dengan perbuatan. Mencari penasehat dan guru yang berintegritas seperti Kyai hari ini, sulit ditemukan karena Kyai sosok yang sangat langka.

Selama tiga tahun nyantri, terdapat beberapa karakter mulia yang dapat penulis (santri) himpun dari beliau (kyai) adalah: Pertama, jiwa ketabahan. Perjuangan panjang mengarungi laut Jawa dan terdampar di Kalbar, tepatnya di Pematang Tujuh, Kabupaten Kubu Raya, gigih. Seorang santri K.H. Hasyim Asy’ari yang memulai hidup dengan menjual tapai, teladan ketabahan. Memang, mutiara walau di dalam lumpur, suatu saat pasti akan bercahaya. Berkilau pada akhirnya, ibarat mutiara tersebut tergadai oleh waktu. Sewaktu jamaah sebuah masjid bertanya, dan tidak ada yang bisa menjawab, hatta imam mereka. Qadarullah, Mas’udi dengan cekatan menjawab pertanyaan dengan tiga tinjauan. Tinjauan bahasa (nahwu, sharaf, balaghah), tinjauan logika (bayan, manthiq, ma’ani, tinjauan sejarah (klasik, pertengahan, modern), dan tasawuf (irfan).Melihat kepiawaian Mas’udi dalam menjawab, beliau mendapat ruang kamar di Masjid Al-Manar Kota Pontianak, serta didaulat sebagai ustadz.

Bismillah kata bermula, beliau membuat pengajian sebagai benteng aqidah dari kerusakan iman dan akhlak umat. Ilmu, iman dan akhlak adalah tiga tema sentral kajian Mas’udi. Mas’udi mulai dikenal oleh warga kota dan sekitarnya, Mas’udi diundang oleh hampir seluruh masjid kota Pontianak untuk berceramah. Bahkan sampai ke Kakap, Punggur, Sungai Rengas, Sungai Pinang (Rasau). Lokasi terakhir menjadi tempat pertemuan penulis untuk pertama kalinya dengan Kyai (1991), saat penulis duduk di semester tiga IAIN Pontianak. Momen indah yang menyatukan kami adalah peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Penulis menjadi penceramah pertama, dan Kyai menjadi penceramah kedua. Qadarullah setelah itu, penulis menjadi santri beliau.

Memang kebanyakan kita kurang merasa berbakti terhadap sosok yang berjasa, saat yang kita cintai telah tiada. Tahukah, bahwa kedatangan orang yang mencintai, adalah rahasia Tuhan, mereka diutus untuk menyampaikan ilmu, bagi kesempurnaan kita kelak. Akankah kita merasa bersalah, setelah mereka yang dicintai pergi untuk selamanya. Sementara belum sempat tunai melunasi khidmat dan bakti, kekasih telah pamit. Storinya, perjumpaan di Sungai Pinang, menjadi awal kedekatan kami yang hampir setiap hari bertemu, bahkan banyak memori indah dalam bentuk nasehat langsung maupun tidak langsung. Nasehat langsung melalui kalam (perkataan), dan nasehat tidak langsung melalui af’al (perbuatan) Kyai. Tulisan ini diangkat dari penyesalan yang belum purna dalam membaktikan jiwa dan raga kepada sang guru. Tapi mudahan, sedikit bisa mengobati, seperti pantun mengatakan:

Pisang emas bawa berlayar
Pisang raja di dalam peti
Hutang emas bisa dibayar
Hutang jasa dibawa mati

Mas’udi memilih hidup sederhana, lebih dari seorang ulama, melainkan ulama yang sufi, dan sufi yang ulama. Ketika konstelasi politik masa orde baru mengambil jalur di parlemen yaitu anggota dewan legislatif yaitu dua dari partai politik (PPP dan PDI), dan satu golongan karya (golkar). Mas’udi sering diminta untuk menjadi calon wakil rakyat dari PPP dan golkar, namun beliau menolak. Penjagaan Allah SWT kepada Mas’udi sampai akhir hayat-nya.

Kedua, jiwa keberanian. Karakter (sifat) berani sangat menonjol pada diri beliau.Banyak bujuk rayu materi yang beliau tolak atas dasar agama. Jangan bicara suap (pungli) dengan beliau, pasti yang membawa suap dibuat malu. Padahal kondisi sangatmemungkinkan, bukan tidak aman, tetapi Mas’udi tidak mau. Pada semua level ormas, Mas’udi yang paling menonjol (primus). Jajaran pimpinan Muhammadiyah, Mas’udi mengemban amanah KetuaTarjih Muhammadiyah, jabatan pertisius yang tinggi bobot ilmu. Di NU (Nahdhatul Ulama),posisi Mas’udi adalah bahits utama dalam pembahasan masalah hukum syara’. Di MUI, Mas’udi boleh dikata mufti yang handal.

Keberanian Mas’udi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tiada tandingannya. Mas’udi tidak ada lagi yang beliau takuti, kecuali Allah SWT. Pejabat yang jahat pasti dia tolak, rakyat miskin yang baik pasti dia terima. Bahkan pejabat penting provinsi harus datang ke rumah beliau, menunggu konfirmasi dari-nya. “Jangan ganggu waktu mengajarku. Ilmu didatangi, bukan mendatangi. Umara yang wajib datang menghadap kepada ulama, bukan ulama yang datang menghadap kepada umara”, ujar nya.

Mas’udi tidak mengenal istilah ulama kondang, atau penceramah kondang. “Kalau ulama ya ulama, ulama bukan artis, artis bukan ulama, apalagi pakai tarif.” Ujarnya tegas memegang prinsip, bukan “kaleng-kaleng”. Mas’udi disegani oleh semua orang. Sebab beliau ibarat burung rajawali, bukan ayam sayur. Namun bagi keluarga dan santri yang dekat dengan beliau, sungguh Mas’udi sangat penyayang, memiliki rasa humor, dan pandai mencairkan suasana (ice breaking).

Ketiga, insan pembelajar. Beliau pernah menulis buku tentang Salat Tarawih, Puasa Ramadan, Lailatul-Qadar. Terdapat pula tulisan beliau tentang Hukum Waris dengan menggunakan mesin ketik merk Olimpic. Tidak ada permintaan yang paling cepat beliau respon, kecuali tentang ilmu. Setiap subuh Jum’at beliau memberi kuliah tentang Kompilasi Hukum Islam dihadapan hakim-hakim tinggi dan senior di PTA (Pengadilan Tinggi Agama) dan PA (Pengadilan Agama). Mas’udi tidak mau dijemput pakai mobil sedan, namun memberdayakan tukang becak yang menjadi tetangganya. Logis, suka berbagi rezeki merupakan sisi lain dari kebaikan Kyai, berupa kemurahan yang tidak pernah beliau ceritakan kepada santri-santri. Maknanya, Kyai sangat berilmu dan mengamalkan ilmunya.

Dalam mengajar, Kyai menggunakan rujukan asli dari kitab Madzahibul Arba’ah, Al-Um, Ar-Risalah, baik kitab-kitab Sahih, Musnad, maupun Sunan, semua kitab Tafsir yang berbahasa Arab, beliau tarjih. Segenap ilmu tersebut beliau ajarkan kepada hakim-hakim tinggi agama dan kepada santri-santri senior, tanpa beliau sembunyikan. Buktinya dalam pengajian umum, dari banyak nasehat, ada satu nasehat Kyai yang sampai sekarang masih penulis ingat.

Petuah Kyai: “Orang tua biologis kalian ibarat menyediakan lemari, kalian-lah lemari itu, sedang orang tua rohani yang mengisi lemari itu supaya indah, berisi mutiara dan permata”. Kyai bertanya: ” Siapakah orang tua rohani? Orang tua rohani itu adalah guru.” Beliau sendiri yang menjawab dengan cepat. Penulis pandangi, mata beliau berkaca-kaca. Terka penulis, Kyai terkenang guru-Nya, Mbah Hasyim (K.H. Hasyim Asy’ari).

Demikian sebenarnya hubungan batin guru-murid, kyai-santri, dosen-mahasiswa yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat ruang kelas, dinding sekolah atau tembok pagar. Romantisme hubungan tersebut sangat bisa melampaui zaman. Bahkan setelah guru wafat, ilmu ruh dari guru selalu datang menembus dan melintas rohani tanpa halangan, tanpa rintangan. Ternyata, wujud jasad memenjara nama, wujud jasad mendinding sifat, wujud jasad tidak leluasa berjumpa, kecuali ada janji untuk agenda bersama.

Jiwa scholarship (pembelajar) telah inheren dan menjadi karakter Mas’udi, cinta ilmu. Beliau sering mencita-citakan umat Islam untuk menjadi ahli dibidang agama dan science modern. Selalu beliau gelorakan dalam ceramah di TV, radio dan di masjid-masjid. Sepertinya, cita-cita Kyai sekarang sudah menjadi kenyataan, walau belum total. Masih diharapkan kelahiran universitas-universitas baru yang lebih handal dan unggul, selalu ditunggu. Petuah-petuah Kyai melampaui masanya, Kyai pernah mengidamkan Rumah Sakit Islam yang modern dengan biaya berobat gratis. Beliau sudah bicara tentang fungsi wakaf dan menawarkankonsep. Wakaf yang saat itu belum booming seperti sekarang. Cerdas, sebab Kyai menguasai seluruh proses berpikir dan putusan hukum Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali dan Ja’far Shadiq yang bergelar madzhab Ja’fari.

Kyai juga mencita-citakan universitas yang menggunakan bahasa pengantar Arab-Inggris. Mewujudkan mimpi, universitas lokal telah Kyai buat di rumahnya (miniatur universitas), dengan sistem belajar “sorogan”. Kyai telah unjuk prinsip bertindak lokal, berpikir global. Kyai sangat memprioritaskan penguasaan bahasa Arab, bahasa Arab adalah bahasa dunia, bahasa ilmu pengetahuan, bahasa pergaulan internasional, bahasa Al-Quran, bahasa agama, bahasa akhirat, bahasa surga. Kyai sering katakan kepada penulis, bahasa Arab adalah ilmu alat. Kamu kuasai ilmu alat, maka kamu akan mendapat semua ilmu. Apalagi seorang penceramah, wajib penguasaan terhadap ilmu alat.

Berbahagialah, Eno Sanusi lebih lengkap mengurai tentang sejarah Kyai dalam penelitian tokoh. Diangkat dari penelitian tesis (S2 IAIN Pontianak Program Studi Pendidikan Agama Islam) yang dijadikan buku dengan judul Napak Tilas Dakwah K.H. Mas’udi. Di buku yang Eno tulis sudah jamak menuturkan secara faktual masa dakwah beliau (1954-2000).
Dalam rilis menghaturkan secara sangat rinci, sebagai berikut:

  • Bagian satu: Selayang Pandang Napak Tilas Dakwah K.H. Mas’udi (1954-2000).
  • Bagian dua: Wilayah Dakwah K.H. Mas’udi di Kalimantan Barat.
  • Bagian tiga: Pendidikan Islam Menurut K.H. Mas’udi.
  • Bagian empat: Pelaksanaan Pendidikan Islam Menurut K.H. Mas’udi.
  • Bagian lima: Titik Akhir Napak Tilas Dakwah K.H. Mas’udi.

Buku yang dieditori oleh Wali Hajar Dewantoro, tidak lain adalah anak kandung Kyai, semakin menguatkan kebenaran isi buku. Untuk santri dunia pesantren, menulis buku tentang Kyainya merupakan amal manaqib bagi keberlangsungan sanad keilmuan. Selain rekam jejak digital yang tidak akan hilang dalam sejarah kepunahan zaman. Dan kemasan secara mu’tamadah (sandaran) dan mutawattirah (konsensus publik) bidang keilmuan sebagai referensi tidak akan punah, karena dihauli setiap tahun. Semoga berkah.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *